Secangkir Kopi Jelang Dini Hari
Waktu sudah sangat larut malam, lebih malam dari yang biasa saya habiskan di warung kopi. Tapi malam itu bokong seperti lengket dengan bangku, tak juga muncul keinginan untuk beranjak.
Padahal, tak ada yang boleh dianggap istimewa dari warung kopi itu. Suasananya terang seadanya dengan lampu neon, tak ada dekorasi ala pabrik kopi dengan karung dan peti kemas dan jejeran toples kaca berisi biji kopi. Kopinya juga kopi sachet, bukan kopi yang ditanam khusus di suatu wilayah yang terdengar eksotis.
Tapi yang bikin asyik memang obrolannya, yang sudah berlangsung sepanjang malam. Dan sudah hampir dini hari saat Mas Boy, sebut saja begitu, berkata begini: "Jadi, kamu bakal tulis nggak soal dia?" tanya pria yang satu.
"Persoalannya bukan tulis atau tidak tulis Mas. Saya pasti tulis, maksudnya saya pasti akan bikin tulisan mingguan saya. Sudah jadi kebiasaan, walaupun masih sering nggak konsisten," jawab saya sambil nyengir.
"Nah, kamu harus nulis soal dia minggu ini!" ia kembali mendesak.
Saya tahu apa yang dimaksud, karena sepanjang malam obrolan ini sudah timbul-tenggelam di antara diskusi dan omong kosong lain.
"Sampeyan ngerti kan? Saya itu nggak kenal dia. Bahkan baru tahu namanya ya setelah sampean kasih tahu. Menulis tentang seseorang yang saya nggak kenal itu sulit Mas! Apalagi menulis elegi."
"Iya memang. Saya juga nggak bisa dibilang kenal. Tapi saya tahu dia, dan kamu bisa lihat kan? Apa kata orang-orang tentang dia?"
Kopi kami datang lagi, sepertinya ini gelas kedua atau ketiga. Buat saya yang bahkan minum satu gelas kopi saja jarang, ini istimewa.
Kali ini kopinya adalah kopi hitam dengan susu kental manis. Ala-ala kopi vietnam, tapi dengan gaya "tubruk" bukan saring, apalagi tetes.
"Orang seperti ini perlu diangkat. Daripada orang-orang yang cuma ..."
Kalimat selengkapnya tak saya cantumkan di sini. Khawatir ada pihak-pihak yang tersinggung. Tapi intinya, bisa saya ceritakan sebagai: orang-orang baik yang berbuat baik dan mampu menyentuh hati banyak orang perlu diangkat ke permukaan.
"Soal itu saya setuju. Saya juga tahu beberapa kejadian teman-teman penggiat sosial media yang memang karena satu dan lain hal sudah 'pergi' duluan. Kenangan yang mereka tinggalkan selalu menyisakan kesan tersendiri," jawab saya.
"Bahwa dia orang baik saya juga sepakat. Saya bisa lihat dari berbagai testimoni yang ditulis, di-tweet dan ditulis di blog oleh teman-temannya. Saya bisa memahami, atau paling nggak menduga, bahwa dia orang baik yang senang guyon," saya melanjutkan.
Dalam perjalanan "mampir ngombe" ini memang ada beberapa teman yang saya kenal sudah "pergi duluan". Beberapa meninggalkan kesan cukup dalam, ada juga yang punya mimpi-mimpi yang sempat dititipkan untuk diwujudkan.
Menjelang dini hari, saya makin banyak terdiam. Kematian selalu jadi momen untuk evaluasi diri dan bercermin. Apakah sudah siap dengan apa yang ditinggalkan?
Ia pun terdiam agak lama, sesekali menyeruput kopi yang sudah pas hangatnya. Tiba-tiba bergumam: "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati?"
Tulisan ini adalah bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Dari perbincangan yang tak terjadi tapi nyata dengan Mas Boy dan Om Rez, teruntuk Mas @hmd yang tidak sempat saya kenal.
Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blogwicakhidayat.wordpress.com atau twitter @wicakhidayat.
Editor: Reza Wahyudi
0 komentar:
Posting Komentar